Kembali lagi bersama kami Kumpulan Cerita,
dimana banyak sekali cerita cerita daerah atau legenda nusantara yang
harus diketahui oleh sebagian besar anak bangsa kita, sebab dengan
mengetahui sejarah bangsa ini akan membentuk karakter yang baik dan daya
juang tinggi terhadap tanah air dan Negara Indonesia ini.
jadi
kalau anda sudah menjadi orang tua, maka kenalkan anak-anakmu dengan
pendahulunya, beritahu mereka kisah kisah pahlawannya, dan juga
legenda-legenda masal lalu, agar anak anda menjadi pribadi yang sangat
sukses dan memiliki jiwa cinta tanah air nusa dan bangsa.
nah sekarang ini kami akan memberikan Kisah atau Legenda tentang Wali Songo yaitu Sunan Ampel, pasti anda sudah pernah mendengarnya, langsung saja akan kami berikan Sejarah Sunan Ampel di bawah ini :
PRABU
Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau
memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu
Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita
pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main
perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum bangsawan
–pun rakyat kebanyakan.
Melihat
beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya
punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata
permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali
Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan.
Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali
Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.
Ali
Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu
Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan
Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal
Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar,
antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim
berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu.
Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang
sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh
Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai
keturunan Nabi ke-23.
Ia
diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada
1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para
sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di
Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada
1443.
Hikayat
Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke
tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah
memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440.
Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa,
Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan
mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama,
sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa
Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke
Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana,
Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para
bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai
hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga
diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja
menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada
warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit,
Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya
Teja, Bupati Tuban.
Sejak
itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat
diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani
masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden
Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo,
berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat
terus melakukan dakwah.
Ia
membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk.
Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat.
Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat
membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan
kilometer dari Ampel.
Langgar
ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan
diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden
Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian
ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di
Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal
masyarakat Jawa.
Raden
Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan
akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat”
diganti dengan ”sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah
tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu
disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama
Hindu.
Siapa
pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat.
Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut
mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara
pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas.
Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya
yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima
hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau
mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap
candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan
problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan
Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan
santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari
perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel
dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan
Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang
putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak
menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai
Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi
Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan
dengan Sunan Kalijaga.
Sunan
Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga
para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan
adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.
”Apakah
tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata
Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan
Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus
dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua
kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini
mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan
sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak
mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak
mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik
Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa)
se-tanah Jawa.
Menurut
satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali
Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut
politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti
sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang
berbeda.
Babad
Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama Ampel
Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di
masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain
menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter
persegi, bersama ratusan santrinya.
Kompleks
makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan
Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat
setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam
Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam
Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya
bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan
Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000
orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan
Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasi Telah Datang Di Blog Kami :)